Tampilkan postingan dengan label Flash Mini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Flash Mini. Tampilkan semua postingan

Rabu, 15 Januari 2025

The Recruitment

Barkah berdiri tegang. Jalan raya sepi. Di sampingnya seorang ketua geng motor tengah memberi arahan. Barkah anggota baru yang baru bergabung dalam club yang dipimpinnya. Barkah menoleh ke arah ketua.

“Sekarang saatnya kau buktikan kalau kau benar-benar bagian dari kami, geng motor landak ireng!” ujar sang ketua. Asap rokok mengepul tepat di wajah Barkah. Ia terbatuk-batuk. Sang ketua menyeringai, dan bola matanya seperti ingin loncat. Barkah menjadi gugup, keringat dingin tiba-tiba saja merembes di area tengkuknya dan menjalar keseluruh tubuh.

“Apa tak ada cara lain bang, selain membunuh?” tanya Barkah. Lututnya tiba-tiba gemetar setelah mengatakan yang menurutnya tak perlu disampaikan.

“Tak ada, hanya itu satu-satunya, kalau kau mundur, kepalamu yang akan aku penggal!” ucap ketua geng yang membuat Barkah tak bisa mundur.

Barkah melihat jam tangan hadiah dari ayahnya. Sekarang pukul 2 pagi lewat 17 menit. Ia rindu pada bantal guling yang selalu dipeluknya erat-erat.

“Bang Baron mau kemana?”

“Kencing, awas!, jangan kabur kau?”

Barkah melirik jam yang ada di tangan kanannya. Waktu pembuktian tinggal tiga menit lagi. Tepat di pukul 02.20 Barkah harus menghunus pedang dan mencari mangsa pertama. Apapun yang terjadi aku harus menemukan mangsa dan tanpa ragu, aku akan tebas batang lehernya, urusan penjara nanti saja. Ucapnya pelan.

Seorang pengendara lewat, sorot lampunya terang dari jauh. Kecepatannya sedang. Barkah membuka sarung klewang yang panjang menyeramkan. “Pokoknya aku harus masuk geng ini,” bisiknya.

Pengendara motor agak oleng ketika Barkah tiba-tiba menghadangnya. Barkah mengayunkan klewangnya, tetapi pengendara motor berhasil menghindar, kepalanya selamat dari klewang itu, tetapi lengannya terkena sabetan, darah segera mengucur merembes melewati bajunya.

Barkah mendekati motor itu ingin menuntaskan tugas sebagi ujian masuk geng. Matanya membelalak, lututnya gemeter, ketika pengendara motor itu membuka kaca helemnya.

“Ampun Pak, ampun...saya masih punya anak di rumah?”ucapnya memelas.

“Ayah...” bisiknya. Barkah melempar klewang jauh ke semak-semak dan lari meninggalkan pengendera motor yang juga gugup tergesa-gesa mengendari motor meninggalkan tempat mengerikan itu.

Bukan Apalah Arti Sebuah Nama

Siapa bilang kalau nama hanya nama, tak punya pengaruh apapun pada kehidupan seseorang. Tidak bagiku. Namaku Sugeng Priyanto. Biasa dipanggil Sugeng. Teman-teman dekat memberiku nama Tude: Untu Gede. Yang kenal belakangan memanggilku Sugeng, guru-guru, dan kebanyakan teman-teman jauh. Hanya Ibuku yang memanggilku Eng, itupun ketika sudah masuk Aliyah dan Kuliah. Selebihnya sama sampai sekarang.

Saat MI-SMP nama Sugeng tak punya pengaruh apa-apa, ada banyak nama yang sama di kelasku. Waktu di Aliyah mulai menggerogoti mentalku. Di sekolah ini nama Sugeng mulai jarang. Seingatku dari 855 siswa, hanya ada 4 nama Sugeng di sekolah Aliyah. Yang lain ada Slamet dan Lujeng. Sisanya nama-nama yang umum yang disematkan pada orang jawa. Sutoyo, Partono, dan seterusnya.

Bukan bermaksud untuk tidak bersukur pada pemberian nama yang mungkin susah payah diberikan oleh orangtuaku. Meski agak filosofis, nama Sugeng sekadar tambahan untuk melengkapi nama Priyanto saja. Menurut Ayah, nama Sugeng dapat meredakan penyakit yang kerap menghantuiku, hingga dapat memutus dan tak lagi menyerang. Aku terima itu, sebagai alasan terbaik, versi ayah.

Selesai Aliyah nama Sugeng menerima ujian pertama. Namaku lolos, masuk ujian perguruan tinggi yang keren di Jakarta. Menginjak di kota keras seperti kota Jakarta adalah prestasi lain. Ujian pertama sebagai perantau adalah menaklukkan kota Jakarta, katanya.

Ketika namaku muncul pada papan pengumuman hasil ujian kampus. Yang kupersiapkan bukan baju atau sepatu atau yang lain. Adalah mental health nantinya ketika mereka mulai mengetahui namaku, mungkin akan dipanggil nantinya sesuai urut absen. Sudah kupersiapkan sebuah nama yaitu Apri atau Anto, kupikir itu cukup keren. Kuharap ayah tak marah. Ibuku mungkin tak banyak komentar. Yang kuingat nama Sugeng dari Ayah, Priyanto dari Ibu.

Hari pertama Propesa semua mahasiswa baru di kumpulkan di lantai bawah (basement) Fakultas Hukum. Ratusan mahasiswa/i hadir, beberapa dari mereka masih menggunakan seragam Aliyah atau SMA, begitu juga denganku. Meski hanya bagian celana saja, atasannya kupakai kemeja, sesuai intruksi orang rumah. Bukan kerena kemeja ini yang membuatku gerah, tetapi jantungku sudah berdegup kencang, dag-dig-dug bila nanti nama Sugeng tiba-tiba saja dipanggil keras lewat pelantang yang sedang dicengkram Senior.

Senior sudah memberi beberapa instruksi yang harus kami jalankan sebagai Mahasiswa baru (MABA). Mulai dari seragam, benda-benda apa yang saja yang nanti kami, dan seterusnya. Itu masih bisa melegakan, kupikir itu semua bisa kupenuhi.

“Sekarang pembagian kelompok sekaligus mentornya, dengarkan baik-baik kawan!” ucap sang senior. Kata mentor masih baru bagi telingaku, tetapi pembagian kelompok berarti berkaitan dengan nama. Kumulai gelisah, apalagi tak ada satupun wajah-wajah yang kukenal sebanyak itu.

Riuh hanya sebentar, MABA punya cara sendiri agar tak kena bully dari para kakak seniornya. Kini hening menerpa, aku harus fokus siapa saja teman-teman baruku nanti.

Kumulai gelisah. Kupandangi kartu namaku.

“Kelompok Pertama dengan Kak Dendi, anggotanya satu!, Lantang kakak senior bicara.

Kami tenang, tepatnya diam.

“SLAMET LAHIR BATIN!” ucap senior lantang memecah keheningan. Sejurus kemudian, disusul ledakan tawa yang membahana.

“Emang mau lebaran!” teriak sang senior gembira.

Tertawa lagi.

Jantungku berdenyut. Ada kelegaan. Rupanya ada nama yang lebih “parah” dariku. Mulai detik ini, kumenyadari nama harus apa, bukan apalah arti sebuah nama.

FOTO DALAM BALIHO

Mandi di kampung adalah aktivitas yang sangat menyenangkan setelah liburan kuliah di kota. Meski hanya dibatasi oleh dinding-dinding anyaman bambu yang dibuat oleh ayahku. Sekarang ayah sedang pergi merantau ke Tanjung Pinang.

Kulihat bak mandi kosong, adikku tidak menyisakan air barang segayungpun. Tak jadi kulepaskan handuk yang melilit pinggang, kukencangkan lagi dan mulai menimba sepuluh sampai lima belas ember. Kusisakan bagi siapapun yang ingin memakainya.

Pada ember yang ke lima belas keringat mulai muncul dari balik pori-pori. Ukuran ember sekarang agak besar dibanding sebelumnya. Hingga otot-otot lengan cepat sekali bereaksi, apalagi tanpa pemanasan sebelumnya.

Kulepaskan handuk yang melilit pinggang. Menyisakan kolor yang biasa kupakai ketika mandi. Aku harus menyesuaikan lagi jika mandi tanpa sehelai baju yang menempel, apalagi tak ada atap yang menutupi.

Dingin menyergap seluruh tubuh ketika guyuran air berkali-kali mengenai kulit. Aktivitas selanjutnya adalah membersihkan tubuh dengan sabun, gosok-gosok seluruh tubuh.

Pada detik berikutnya kudisergap rasa takut. Dipojok sana sepasang wajah tengah tersenyum mengintipku yang sedang mandi. Serentak kuambil segayung air dan melemparkan ke arah wajah yang sembrono itu.

“Hei jangan ngintip!, saru!” teriakku, kususul dengan lemparan sendal jepit, bekas pasta gigi, dan segayung ember lagi.

Wajah tersenyum itu masih disana, alih-alih pergi malah memasang wajah tengil yang menyebalkan. Sejak pulang kampung banyak perubahan tentang area kamar mandi yang tak lagi ada privasi. Orang-orang semakin mudah mengintip, salah satunya sekarang yang sedang menimpaku.

Kubergerak ke pojok kamar mandi. Kuguyur cepat-cepat agar bisa pergi sabun dari badanku. Dan berganti memakai shampo. Untunglah aku memakai celana pendek, sebagai basahan. Tetapi mengintip tetap perbuatan tercela, dan bisa kena tindak pidana asusila loh.

Selesai mengguyur kepala, kukeringkan badan. Berharap orang mengintip itu kapok dan malu karena ketahuan.

Pengintip itu masih ada di sana, masih memasang wajah tersenyum.

“Dasar otak mesum, pergi dari sini!” teriakku kembali. Kulemparkan sendal jepit satunya lagi. Tetapi orang itu tetap tak bergeming, tetap tersenyum.

“Kenapa teriak!?” tanya ibu dari dalam rumah.

“Ada orang yang ngintip Mak?!”

Ibu dan anggota keluargaku yang lain tertawa. Kesal. Sejenak kupandangi wajah itu yang masih dalam pose yang sama. Agak aneh sih?.

“Itu Foto Baliho Mba Risma, Caleg kita!, jangan Ge-Er deh!” timpal Emak dari dalam rumah.

Pocong Bantet

Badrun berjalan santai dijalan yang biasa dilalui sepulang mengaji di rumah Pak Salim yang pandai mengaji, meski bukan lulusan perguruan tinggi agama Islam. Gerimis belum berhenti sejak Badrun pergi dari rumah selepas Maghrib. Bila hujan turun deras sepanjang jalan yang ditemui hanya kesunyian. Apalagi masih menyisakan gerimis yang tak henti-hentinya.

Lampu didepan tiba-tiba mati. Badrun berhenti sebentar dan tolah-toleh siapa tahu seorang temannya tengah mengisenginya, seperti yang sering mereka lakukan.

“Jangan iseng deh, udah malam nih?” ucap Badrun. Ia menurunkan payung dan memeriksa teman-temanya yang sering bersembunyi di antara rimbun perdu, didekatnya pohon nangka tua.

“Wan, Jal, To!, awas kalau ketahuan ya!” teriaknya lagi. Yang ditemui Badrun hanya sepi lagi sunyi. Suara jangkrik bawang, yang menjawab panggilan Badrun.

Badrun berjalan melewati gardus pos ronda jantungnya sudah tak karuan. Tangannya juga sudah mulai memegangi kemaluan. Lampu gardu pos tiba-tiba mati.

“Wan, Jal, To!, jangan iseng! Teriak Badrun memecah jalan sunyi yang sudah lengang sejak hujan sore hari.

Badrun mempercepat langkahnya. Sampai di bawah pohon nangka. Badrun menjerit. “Pocong Bantet!” tubuhnya kaku, mematung sebentar, lalu terkulai pingsan.

Dari balik persembunyian muncul Iwan, Rijal, dan Toto. Wajahnya ikut-ikutan tegang. Mereka berlari mendekati Badrun yang masih tak bergerak.

“Kamu sih Wan kelewatan,” ucap Rijal.

“Mana Lampu kamu matiin lagi, dosa kamu” tambah Toto.

“Kenapa pada menyalahkan saya, ini ide kita semua, kalian mau lari dari tanggung jawab,” sergah Iwan.

Toto tolak pinggang tak mau terima. Sementara Rijal masih berusaha membangunkan Badrun.

“Nangka jatuh itu bukan ide saya, buah itu memang jatuh persis saat Badrun lewat!”

“Aku nggak ikutan, pokoknya kamu yang tanggug jawab ya!, jawab Toto cepat.

Badrun tak lama bangun. Badanya masih gemetar. “Ada pocong tadi...” ucap Badrun menggigil.

“Ini hanya nangka Drun,” kata Iwan sambil menjinjing Nangka yang dibrongsong kaos putih menjuntai.

“Po, Pocong Bantet..!” teriak Badrun. Matanya melotot. Ia pun kembali pingsan.

“Iwan!!!” Teriak Rijal dan Toto serempak.

Antabur

Suasana pondok setelah makan siang cukup tenang. Seorang santri tengah membawa rantang. Ia terlambat makan siang. Rupanya ia tertangkap oleh mata-mata memaki kucing yang terlihat memberaki sendal khusus untuk digunakan nanti malam. Ia mendapatkan hukuman, menyikat toilet laki-laki yang ada di pondok. Ditambah dengan Toilet para ustaz-ustaznya.

Ia berlari ke arah kantin. Yang didaptinya hanya kuah sop yang berlimpah-limpah. Secentong nasi dan sesendok sambel yang pedasnya memerihkan mata. Keluar dari kantin, ia masih meraba-raba perutnya yang masih dangdutan minta jatah karbohidrat lebih banyak. Dari pagi juga lambungnya hanya terisi kerupuk-kerupuk ubi yang memusingkan kepala jika terlalu banyak.

Ia berjalan ke arah serambi masjid dimana di sana banyak kakak kelas yang sedang menghafal pidato untuk acara muhadoroh nanti malam. Rantang masih ia bawa bersama sendok di tangan kanannya.

“Banyak antabur di belakang pondok, cepat lari nanti kamu nggak kebagian loh,” kata seorang kakak tanpa melihat kearahnya. “Benar Kak!” desaknya. Bayangan perutnya yang kenyang membuatnya senang.

“Ya, benar, nanti cari yang bener ya?” ucap Kakak kelas.

Ia berlari sambil menenteng rantang, menggenggam kuat sendok, tanpa menoleh ke belakang. Sarungya ia angkat sebatas betis. Posisi peci sudah mirip para cendekiawan kaum pejuang.

Tak butuh lama untuk ia sampai di belakang pondok. Ia berdiri mematung. Merenung sejenak. Tak ada siapa-siapa di sana, kawan satu kamar pun tak ia jumpai barang sebiji pun. Bahkan sampai ia naik berlin untuk memastikan. Ia turun. Lalu duduk di atas gundukan batu besar sisa bangunan.

Yang di jumpainya hanya ratusan burung dara yang sedang bercengkrama satu sama lain di kandang-kandang yang menempel di dinding dan rumah-rumahan. Cacing perutnya bunyi. Ia mengelusnya pelan. Sendal jepitnya yang ia gunakan mengeluarkan aroma tak sedap. Setelah diperhatikan baik-baik olehnya. Ia jumpai banyak tai burung yang menempel di sendalnya. Satu dua menempel pada ujung sarungnya.

Ia bangkit dan berjalan ke arah kamar.

“Bagaimana dapat nggak antaburnya!” tanya kakak kelas tadi.

“Nggak ada Kak?” jawab santri itu, loyo.

“Kamu kurang cermat, coba cari lagi. Banyak sekali Antabur di sana, kamu bisa ambil sebanyak mungkin,” celetuk santri yang lain.

Santri itu kembali lagi berlari menggunakan sisa tenaga dari kuah sop dan kerupuk ubi. Sampai di sana tak ada Antabur yang mereka maksud. Tak ada kakak-kakak lain yang menjaga kuali besar berisi Antabur. Ia kesal, menghentakkan kaki kanannya ke tanah sebanyak empat kali.

Ia kembali. Mengkonfirmasi kepada Kakak kelasnya.

“Kakak bohong ya, nggak ada antabur, di sana sepi,” selidik santri itu.

“Ada?” desak Kakak kelas.

“Nggak ada?” jawab santri itu, nggak mau kalah.

“Ada..., Antabur itu, Ancuran Tai Burung, masa ngga ada?” ucapnya enteng. Sudut bibirnya mengulum senyum. Santri itu mlengos pergi dan bersungut-sungut. Sementara kakak-kakak kelas itu sibuk menahan diri agar tawanya tidak meledak.

Miskomunikasi 2

Selesai makan malam, suamiku langsung ngendon di kamar. Wajahnya cemberut menahan marah. Aku geli melihatnya, ternyata seorang Dokter bisa ngambek seperti itu. Nggak jelas, apa yang membuatnya marah. Lebih baik kukulik dari pada nanti jadi kemana-mana. Apalagi pernikahan baru menginjak hari ke-2, setelah hari yang melelahkan itu, tetap tersenyum pada hadirin di acara perhelatan akbar sekali seumur hidup. Semoga.

Aku duduk di samping dan mengelus pundaknya. Terasa berotot. Sampai sekarang suamiku masih rajin cardio dan disiplin pola makan.

“Nggak habis pikir kenapa ayahmu tega, ngatain aku sebagai Wedus. Seekor hewan yang bau itu. Kan ayahmu ustaz, orang berpindidikan tinggi, sering kemana-mana, tetapi kata-katanya menyakitkan. Tertuju sama menantuya sendiri. Apalagi tadi banyak keluarga kamu yang hadir,” Ucapnya, rahangnya mengeras. Aku ingin tertawa, tetapi kasihan meliht tampangnya yang kuyu.

“Memang kata-kata yang diucapkan oleh ayah, seperti apa. Hingga buat seorang Dokter bisa jadi manyun begitu,” kataku sepelan mungkin dan sehalus mungkin. Kukenal perangainya, karena suamiku itu teman masa kuliah, dan kos-kosannya hanya sepelemparan batu.

“Itu loh Win, apa tadi Mantukuwedus, lalu doyan makan sayur daun singkong, begitu. Apa nggak keterlaluan, memang saya sayur itu, tetapi kamu tahu aku bukan Wedus. Begini-begini aku tahu sedikit bahasa jawa?” cerocosnya.

Aku tidak bisa lagi menahan tawa. Pecahlah tawaku yang kencang dan nyaring. Membuatnya tambah senewen. Tubuhku sampai terguncang-guncang diatas kasur.

“Kok malah ketawa!, nggak lucu tahu!” ucapnya ketus, melempar buku yang sedang dibacanya mengenai bagian tubuhku. Aku tahu ia butuh penjelasan yang masuk akal. Jika ia tidak tahu perangaiku, mungkin ia akan semakin marah tak terkendali.

“Gini suamiku yang ganteng. Baik hati dan pandai menabung,” ucapku sambil mengatur nafas karena sulit mengendalikan tawa yang panjang dan menggelikan. Sisi naif dari suamiku masih saja melekat erat, kuat, bahkan mungkin nanti sampai kakek-kakek.

“Jangan tawa terus dong? Maksudnya apa?” kejarnya.

“Mas Umar, maksud ayahku itu. Ayah berkata pada pamanku: Man, Tuku Wedus, artinya Paman Beli Kambing. Soalnya pamanku itu punya banyak kambing. Ayah pengin beli nanti untuk idul adha, begitu Mas?” jawabku sambil mesam-mesem. Wajah suamiku melunak.

“O begitu, jadi bukan ngatain aku Win?” tanyanya lagi.

“Siapa yang ngatain, malah sering muji kamu. Katanya kamu udah Dokter, ganteng lagi, pinter banget sih Win kamu nyarinya. Itu kata ayah dan Ibuku.”

“Jadi malu, kita lanjutkan yang tadi malam ya?” ucapnya. Wibawanya sudah kembali. Tetapi aku nggak bisa nahan sesuatu yang menggelikan. “Maaf nggak bisa Mas.”

“Loh kenapa, kamu marah?”

“Nggak, tadi pagi aku haid, maaf Ya,” ucapku sambil senyum dan ingin tertawa lagi.

“Yah...” ucap Mas Umar. Sambil menepuk jidatnya dan menjatuhkan punggungnya ke kasur.

Aku tertawa lagi.

Selasa, 14 Januari 2025

Kisah Pilu Si Pencuri Kecil

Dini hari ia masuk lewat pintu depan. Mudah baginya untuk melewatinya. Sudah ratusan kali ia masuk ke rumah juragan kelapa. Ia bisa mencium aroma tubuh si juragan sejak ia masuk ke rumah. Tidak hanya itu, ia juga hafal semua tempat dan tata letaknya.

Ia masuk ke kamar depan tempat si juragan bersama istrinya tidur. Tampaknya lelah sekali si Juragan kelapa. Dengkurannya terdengar sampai seisi rumah.

Langkah kecilnya mulai menyelusuri tempat-tempat yang tersembunyi. juragan kira ia tidak bisa menjangkaunya. Ia menyeringai sambil mulai membuka laci demi laci.

Seekor kucing peliharaan juragan bangun. Mulai menatapnya. Ia pun balik melotot. Si kucing agak mengkerut. Ia kabur kedalam kamar Juragan. Mengeong membangungkan majikannya. Tetapi mimpi indah membuat Juragan tak bergeming, menggeliatpun enggan.

Pelan-pelan kucing belang itu kembali menghampirinya. Mengeong lagi dan lagi. Semakin lama semakin keras bunyinya. Ia tak perduli dengan kehadirannya si kucing belang itu. Sesekali ia memberi wajah seram padanya. Kucing kabur dan kembali lagi.

Bibi terbangun mendengar si Belang terus mengeong. Langkahnya agak limbung. Rupanya kantuk belum benar-benar hilang. Mulutnya menguap beberapa kali. Tanganya berkali-kali mengucek matanya.

“Kenapa Belang, laper?” tanya si Bibi. mendapati si Belang di kantor Juragan terus mengitari laci yang sekarang tertutup. Tubuh si Belang langsung direngkuh dan dibawanya ke kamar. Si belang tak berhenti mengeong, suaranya makin makin mengecil.

Setelah si Belang tak lagi terdengar suaranya. Ia bergerilya dari satu lemari ke lemari yang lain, dari satu kotak ke kotak yang lain. Tetapi tak ditemukan satu lembar pun uang yang biasa ia ambil dengan mudah, tanpa perlu mondar-mandir seperti itu.

Ia menepuk jidatnya, ada satu tempat yang belum ia periksa. Bibirnya mengembang membayangkan tumpukan uang yang bisa ia ambil untuk tuannya. Dan ia akan dapat hadiah yang banyak seperti biasa.

Ia berlari sambil tertawa kencang. Tangan mungilnya pun menyeret loker kecil. Pelan sekali. Wajahnya merengut, ketika yang ditemukan hanya tumpukan ATM dari berbagai jenis Bank. Ia menggelangkan kepala banyak-banyak.

“Mungkin sudah waktunya aku pensiun,” ucapnya lemah. Ia gontai berjalan menembus tembok kamar sambil menangis.

Miskomunikasi

Liburan Badrun bersama keluarga kali ini ke Purbalingga, kampung ayahnya. Mereka sampai rumah tepat saat azan subuh berkumandang. Nenek dan kakeknya tampak senang dan bahagia, apalagi melihat cucunya sudah semakin besar.

Saat makan siang, banyak menu masakan ada di atas meja panjang. Semuanya siap santap. Yang paling menarik adalah terdapat satu cobek besar berisi sambal tomat campur terasi dan satu mangkuk sambal cabai hijau.

Semua anggota keluarga sudah berkumpul di ruang makan. Kakek dan nenek juga membersamai acara makan siang ini. Sang nenek berdiri, mengambilkan piring dan mengisinya dengan dua centong nansi untuk Badrun. Badrun tersenyum senang.

“Terimakasih Nek?”

“Ayo mulai makan, jangan sungkan,” kata nenek dalam bahasa indonesia yang medok.

“Ya Nek,” ucapnya kikuk. Ada begitu banyak lauk yang tersaji. Ia terlihat bingung untuk memilihnya.

Keluarga Badrun sudah mulai mengambil nasi, lauk dan sayur secara bergantian. Banjir beragam kuah menyiram nasi. Diakhiri dengan sepotong paha bebek dan dua sendok sambal cabai hijau. Ayah Badrun begitu menikmati makan siangnya. Seperti tak makan tiga hari tiga malam.

“Badrun, Ayo makan, kok malah bengong,” ujar nenek.

Aku tersenyum kikuk. “Ya Nek?”

Nenek pun mulai menawarkan beragam menu di depannya. Ayah Badrun Senyam-senyum. Badrun mulai curiga dengan senyuman ayahnya.

“Drun, ini namanya jangan nangka, jangan lodeh, jangan bunga pepaya, jangan bayam, jangan kangkung, jangan daun singkong, dan ini sambal ayo silakan dimakan?” ucap nenek semangat. Lalu ia duduk menyendok nasi dan menumpahkan beberapa sayuran juga sambal. Katanya jangan tetapi nenek makan, kakek makan, juga keluarganya. Badrun ingin mengambil paha bebek, tetapi letaknya diluar jangkaun tangannya.

Takut dimarahi oleh nenek, karena semua dibilang jangan ini jangan itu, Badrun memutuskan untuk mengambil dua sendok sambal cabai hijau di atas sepiring nasi panas.

“Lo kok cuman sambal, ayo jangan kangkungnya dimakan, terus jangan bebek nggak suka ya,” ujar nenek semangat.

“Itu bukan jangan bebek tapi bebek goreng,” timpal sang kakek pelan.

“Eh iya, ayo silakan jangan bebeknya.”

Badrun makin bingung semua kok dibilang jangan bahkan bebek gorengpun yang tampak lezat itu pun tak boleh dimakan. Dibilang jangan bebek lagi. Sementara ayah bunda tak berhenti mengunyah berbagai macam lauk. Mereka seperti tak peduli dengan kebingungan Badrun.

Wajah Badrun tiba-tiba memerah. Ia mendesis keras. Meneguk air hangat cepat-cepat.

“Anakmu kok hanya makan sambal, apa nggak doyan jangan,” ucap nenek dalam bahasa jawa.

“Doyan,” jawab ayah.

Badrun mencoba memahami apa yang Ayah dan Nenek bicarakan. Sampai selesai bicara hanya senyum dan tawa yang bisa ia mengerti.

“Terus, wong makan cuma pakai sambal tok?” ungkap nenek sambil tertawa. “Anakmu lucu,”tambahnya.

“Bukannya nggak doyan Bu? harusnya ibu jangan bilang jangan tapi sayur. Badrun pikir semua sayur nggak boleh dimakan, kecuali sambal. Makanya hanya sambal yang Badrun ambil,” ucap ayah.

“Oh begitu, pantas, kasihan, jadi malu?” tutur nenek, mereka tertawa bahagia. Badrun sebentar-bentar meneguk air minum dan memegangi bibirnya yang panas terbakar cabai.

Catatan: Jangan, Jawa, sayur

Curug, 14 Mei 2024

Senin, 13 Januari 2025

Seorang Maling dan Polisi Berwajah India

Seorang maling tengah terpojok di sebuah jalan buntu. Setelah sebelumnya berusaha lari dari kejaran para penghuni Gang Masjid dan sekitar baik tua ataupun muda. Mereka berhasil menjebak serta menyudutkan maling pembobol kotak amal di tempat sudah direncanakan. Wajah-wajah pengepung tampak beringas dan menyimpan kobaran api amarah.

Maling itu terduduk dan menatap para pengepung. Wajahnya sudah seputih terigu. Uang yang ia curi dari kotak amal, ia genggam erat-erat. “Cepat kembalikan uang itu?” ucap seorang berpeci berkali-kali. Uban putihnya menyembul dari balik peci hitamnya.

Maling itu menggeleng-gelengkan kepala.

“Tidak!” jawabnya. “Pergi saja kau!,” Teriaknya. Nafasnya tersengal.

HP jadul yang ia kantongi sudah tujuh kali berdering. Tangannya seperti ingin merogoh dan mengambil, tetapi salah seorang dari pengepung tiba-tiba menyambar lehernya dan memitingnya kuat-kuat.

“Sudah Pak Ustaz, biar kami yang menyelesikan!” teriak seorang yang maju mendekati maling itu. Dan tenaga Pak Ustaz kalah kuat dengan para pemuda yang sedang diselimuti kebencian.

Seorang lain berlari cepat dan memberikan pukulan kuat mengarah ke perut. “Akhrh!” sontak maling itu melenguh keras. Tubuhnya merosot kedinding tembok berlumut. Ia melenguh kesakitan ketika tendangan keras mendarat tepat di kepalanya yang sejak dua malam terserang vertigo.

“Ampun Pak, Ampun?” rintih maling itu pelan. Darah sudah meleleh memenuhi mulutnya, ketika bogem kasar dari orang bertato menghujam keras berkali-kali. “Dasar maling busuk!” ucapnya sambil memberikan tambahan tendangan ke perutnya. Wajahnya makin sangar.

“Ampun?” Suaranya makin lemah lalu hilang dibalik pukulan dan tendangan liar bergantian mengenai tubuhnya yang ringkih.

Pandangannya gelap. Uang yang digenggamnya lepas bersimbah darah. Dan ia kalah sekali lagi melawan ketiberdayaan, ketidak
pedulian, janji-janji manis yang diucapkan oleh mulut para penguasa.

“Bakar manusia bangsat ini!” seru seorang dari balik kerumunan. Tangannya mengacungkan jerigen dan menyeringai kasar.

Maling itu tak berkutik. Ringkihan dan minta tolong tak lagi terdengar. Tubuhnya telah kaku, telentang siap menerima hukuman maha berat.

“Bakar!” ucap orang itu lagi. Kali ini ia maju kedepan. Siap-siap menuangkan derigen yang berisi BBM yang sedang naik terus.

“Berhenti! Jangan main hakim sendiri!” ucap seorang polisi berwajah India yang tiba-tiba saja muncul seperti dalam adegan film-film stasiun televeisi swasta.

Ia memeriksa maling naas itu. Memeriksa denyut nadinya. Wajah maling itu telah membisu. Ia berdiri menatap wajah orang-orang yang masih menyimpan marah berlapis geram. Polisi itu melepas topi dan memberikan penghormatan terakhir.

“Orang ini sudah mati!” ucapnya. Seketika orang-orang yang terlibat dalam penghakiman mematung, beberapa menyesal, yang lain menghela nafas puas merasa telah menuntaskan kemarahan pada maling yang telah lama meresahkan.

HP jadul dalam saku maling itu terus berdering. Nyaring terdengar. Orang-orang menunggu siapa yang menelepon pada orang yang sudah terbujur kaku. Termasuk Polisi berwajah India itu. Ia menarik nafas dan merogoh saku dan mengambil HP tersebut.

Polisi berwajah India tertegun sejenak sebelum menekan tombol jawab. Dan ia menekan tombol suara nyaring (loud speaker) agar terdengar orang-orang yang telah main hakim sendiri.

“Ayah kapan pulang, aku sudah laper banget!, kata Ibu, beras di rumah sudah habis, cepat pulang ya Yah. Halo ayah, kok diam aja, Halo Yah, Ayah...!, Yah...?!

Selasa, 07 Januari 2025

Melayat

Seorang nenek meninggal sore hari. Somplang dan Ibunya melayat ke rumahnya sampai malam. Di sana terbujur kaku mayat yang sudah dislimuti kain batik (jarit) coklat motif bunga kenanga. Somplang menatap ke arah mayat yang terbungkus kain dan masih mengingat jelas bagaimana wajahnya ketika masih hidup. Jakunnya naik turun.

Ibunya bercakap dengan putri almarhumah. Usianya sebaya dengan ibunya. Somplang duduk di atas amben tak jauh dari jenazah itu. Rasa takut itu masih menjalari tubuh somplang. Ia meneguk ludahnya sendiri beberapa kali.

Hujan turun deras. Suasanya menjadi adem. Somplang duduk termangu dan masih mendengar jelas percakapan mereka. Sampai larut malam obrolan itu masih saja berlanjut.

Ibu mendekati Somplang dan duduk di sampingnya.

“Tidurlah, kita pulang setelah hujan reda,” bujuk ibunya.

Somplang tidur bersama ibunya. Nyenyak sekali. Pukul dua pagi ia terbangun. Jantungnya seperti copot ketika wajah ibunya berubah menjadi wajah mayat sang nenek. Matanya yang menakutkan itu tak berkedip memelototi wajah somplang. Somplang berkedip berharap hanya mimpi. Ketika membuka matanya ia masih di pelototi.

Ia memaksa utuntuk tidur dan bangun keesokan pagi. Mencari ibunya yang tak ada disampingnya. Ia duduk bengong sendiri. Ketika menengok ke arah jenazah yang masih terbaring, jantungnya berdebar kencang. Jenazah masih ada di tempat, dan masih tertutup wajahnya. Lalu ia tidur dengan siapa. Somplang mendengar ada suara berdehem. Dan itu suara yang ia kenal betul. Suara yang empunya sudah meninggal. Ia kabur lari membuka pintu dan bertubrukan dengan ibunya yang sedang membawa sarapan.

HADIAH

Badrun sudah sampai di rumah terlebih dahulu dibanding ayahnya. Duduk di kursi, siap untuk makan siang. Di atas meja makan sudah lengkap nasi dan lauk pauknya. Ada ikan balado merah dan tumis buncis, juga bala-bala. Ia menelan ludahnya sejenak. Lalu tangan kanannya mengambil piring, tak ketinggalan satu setengah centong nasi.

Suapan pertama ayahnya datang. Ia melihat dengan ujung matanya. Seperti kebiasannya, ayahnya meletakkan peci di gantungan, mencantolkan baju kokonya, dan melepaskan sarung berganti celana santai.

Ayahnya ikut gabung di meja makan. Mulai menyendok nasi dan menata lauk pauk secara acak di atas piring yang pinggirnya bergambar rumah dinasti Ming.

“Drun kau buru-buru sekali pulang, tak doa dulu?”

“Laper yah.”

“Sama?”

“Apalagi banyak yang tidur Yah, ketika ustaz ceramah. Emang boleh tidur Yah saat sholat jumat.”

“Aturannya tidak boleh, jika mereka tahu hadiahnya, mereka tak mungkin tidur saat khotib berkhutbah.”

“Emang hadiahnya apa Yah?

Sebelum ayahnya menjawab. Ibunya bergabung di meja makan. Ayahnya berhenti sejenak. Ia mengambilkan piring dan sendok di dekatnya lalu diberikan kepada istrinya.

“Terimakasih Yah?” ucap Bunda.

Ia mengangguk dan tersenyum tipis.

“Apa hadiahnya Yah,” desak Badrun.

“Mereka yang datang lebih awal sebelum khotib berbicara, sempat sholat sunnah dua rokaat, lalu berusaha melek mendengarkan seksama saat khutbah berlangung, meski banyak berdehem setiap satu menit, dapat hadiah bisa berenang di atas kolam berkaporit. Jernih tapi bisa memerahkan matamu. Yang datang pertengahan, sesekali berceloteh dan melototi anak-anak kecil yang berisik, peroleh hadiah bebas berenang di setu yang airnya berat kerena jarang mengalir. Apalagi yang datang terlambat, duduk dan ngobrol ngalor ngidul, mereka mendaptkan hadiah makan kerupuk kulit berkilo-kilo.”

“Itu kan yang datang Yah, yang tidur bagaimana?” cecar Badrun.

“Kalau tidurnya hanya merem melek masih sempat mengaktifkan telinganya. Itu mereka dapat hadiah telur onta. Tidurnya angguk-angguk dan air liur mulai keluar dari celah bibir, ceramah dari ustaz hanya ditangkap sayup-sayup, mereka dapat hadiah telur Angsa. Bagi orang-orang yang ketika khutbah duduk bersender di tiang masjid, lalu ketiduran dan masih bisa sigap ketika iqomat dikumandangkan. Mereka dapat hadiah telur bebek bakar khas Tegal. Masih untung mereka.”

“Ada yang sampai ngorok Yah,” ungkap Badrun.

“Mereka-mereka yang datang sholat jumat belakangan, duduk mencari tiang, tiga menit kemudian mereka tidur ngorok setelah khotib membacakan wasiatnya. Mereka mungkin paling ngenes soal hadiah yang mereka dapatkan. Mereka dapat hadiah telor-telor cicak yang putih dan kuningnya tak bisa diceplok.” Ucap Ayah. Bunda di sampingnya hanya senyum-senyum saja.

“Dikasih tulisan saja yah, “DILARANG TIDUR SAAT KHOTIB BERKHOTBAH DAPAT HADIAH TELOR CICAK DOANG!” kata Badrun semangat. “Lalu di pasang ketika hari jumat, pasti nggak ada yang tidur Yah,” tambah Badrun.

“Anak pintar,” puji bundanya.

Ayahnya berhenti mengunyah. Meneguk air putih, dua tegukan. “Boleh juga tuh,” kata Ayah sambil mengacungkan Jempol yang gede.

“Soalnya aku lihat Ayah tadi pas jumatan tidur nyender di tiang. Mana ngorok lagi. Terus dibangunin sama orang samping, padahal imam sudah takbir. Baru Ayah berdiri dan Takbir dech. Kata Pak ustaz, harusnya wudu dulu, jangan main takbir aja yah?” ucap Badrun cuek.

CALON SARJANA TINGGAL TUNGGU WISUDA

Mereka janji akan bertemu di taman setelah sepekan yang lalu keduanya berkenalan. Satunya mengenalkan diri sebagai mahasiswi kedokteran di sebuah kampus ternama. Sedangkan pemuda itu mendeklarasikan sebagai mahasiswa psikologi. Satu sama lain saling mengagumi, cara klasik untuk mengukur hukum pertemuan dengan perkenalan.

Keduanya saling bertemu untuk kedua kalinya. Saling mengobrol ngalor ngidul tak ada dendam yang menjebak rasa rindu. Mungkin belum, keduanya tampak menjajaki untuk kesekian kalinya.

Mereka saling menatap mengukur kasih. Kicau burung seperti nyanyian india sebagai lagu pengiring rasa padu itu. Tukang taman yang berada jalur aman untuk mengawasi sambil menyabit seperti pengawal kerajaan yang rajin tutup mulut.

“Apa perlu mengikat pertemuan pada arah yang serius?” tanya pemuda itu sambil terus menyembunyikan tangan kanannya di balik jaket kulit coklat prodak Cianjur.

“Maksud abang?” Tanya gadis itu, tangan kanannya berkali-kali membetulkan poni yang berantakan.

“Janur kuning lengkap dengan undangan?” ungkap sang pemuda.

“Ah..., jangan buru-buru. Penjajakan saja dulu?” tangkas gadis itu.

Jawaban gadis itu oleh pemuda seperti penolakan halus. Ia berdiri spontan. Membetulkan rambutnya. Lalu memakai topi yang membuat gadis itu terkejut.

“Kau supir ya?” cecar gadis itu.

“Ngawur, aku ini calon sarjana tinggal tunggu wisuda,” elak sang pemuda.

“Bohong!, kau pikir aku bodoh, itu topi khas sopir!” desak sang gadis.

“Maaf...” polos sang pemuda. Ia menurunkan topi dan duduk lemas di kursi taman.

Gadis pujaan sang pemuda pergi sambil membawa hadiah dari sang pemuda. Tiba-tiba ia berhenti. Dan balik kanan berjalan menuju pemuda yang pucat pasi duduk melepas topi dan menggoyangkan sebagai kipas.

Pemuda mendongak melihat wajah pujaan hatinya kembali. Ia tersenyum dan berdiri menyambutnya.

“Maaf, aku juga bukan calon sarjana tinggal tunggu wisuda.”

“Siapa kamu.”

“Babu orang kaya yang sibuk bekerja, permisi.”

Hening. Taman sunyi. Kicau burung berhenti. Dan tukan taman itu tiba-tiba menghilang. Keduanya balik kanan. Tanpa pernah menoleh ke belakang.

Selasa, 31 Desember 2024

OLIGARKI

Terdengar suara tembakan. DOR! Semua pelari melesat menuju lintasan. Bergerak cepat berlomba menuju garis finis. Penonton yang membludak memenuhi stadion memberi semangat pada jagoannya masing-masing. Otot-otot paha pelari yang terlatih semakin terlihat, latihan bertahun-tahun untuk menjadi yang tercepat dalam beberapa detik saja. Impian semua atlet di dunia manapun.

Nomor punggung sepuluh sudah melesat cepat mendahuli lawan-lawannya. Kecepatan larinya seperti cheetah, pelari tercepat diantara kucing-kucing besar di Afrika sana.

Pada detik yang hampir bersamaan, pelari bernomor punggung tujuh mulai menyusulnya dengan kecepatan yang mengagumkan. Seolah tak punya pusar, lari dan lari. Penonton dibuat kagum oleh penampilannya. Pendukungnya makin bersemangat, mereka berteriak dan bertepuk tangan. Histeris.

Peluh keringat nampak mengkilat menerpa tubuh pelari yang sedang kerasukan, matanya ada yang melotot menahan nyeri menyerang otot paha. Larinya semakin tertinggal.

Yang lain masih memiliki nafas banteng. Semakin sayu matanya semakin ganas larinya. Kini kelompoknya makin terpisah. Satu tertinggal masih berlari sambil menahan nyeri. Hanya darah yang terus mendidih mempertahankan nama baik negaranya. Mereka adalah petarung yang siap mati di medan perang, dengusannya mampu menanggalkan pedang-pedang tajam. Keringat makin bercucuran membuat para pelari seperti di sauna.

Lomba lari seratus metar tingga beberapa puluh meter lagi. Menyisakan dua pelari di barisan pertama. Saling mempertahan kecepatan berlarinya. Garis finis sudah terlihat. Kecepatannnya semakin mengagumkan, siapa yang mencapai garis finis dialah yang terbaik. Harga dirinya dan negaranya menjadi jaminan. Namanya akan menjadi legenda dari setiap pelari terbaik dari segenap penjuru dunia.

Penonton makin histeris manakala pelari nomor tujuh dan sepuluh semakin liar, tidak terkendali, seperti kecepatan mesin, mereka berdua memiliki kecepatan yang nyaris sama. Pelari nomor tujuh melewati garis finis nyaris sama dengan pelari nomor sepuluh. Keduanya merayakan dan sama-sama mengaku sebagai pemenangnya.

“Kita coba tanya wasit lapangan, siapa yang tercepat!” usul pelari nomor sepuluh.

“Siapa takut!” pungkas pelari nomor tujuh.

Keduanya menghadap wasit. Penonton ikut hening. Mereka seperti tahu ada yang sedang diperebutkan. Hanya bisik-bisik kecil lewat mata juga mulut-mulut yang terkatup.

Microphone berdesis, semuanya menahan nafas. “Untuk pemenang lomba lari jarak 100 meter adalah pelari dengan nomor punggung sepuluh,” ucap sang wasit.

Tidak hiruk pikuk seperti lazimnya ada seorang pemenang. Mereka seperti menentang, tetapi bingung bagaimana cara mengungkapkannya. Diam tak bicara sepatah kata.

Pelari nomor tujuh datang menghadap kepada wasit. “atas dasar apa anda!, kenapa dia yang menang! Keputusan salah akan merugikan yang lain, anda tahu itu!” protes pelari nomor punggung tujuh.

“Memang dia yang menang, kau mau apa!” tanya wasit balik. Alisnya makin naik.

“Kasih satu alasan yang logis kenapa dia yang menang!” ucap pelari nomor punggung tujuh, marah.

“Ketika menginjak garis finis, mulutnya terbuka, giginya yang tonggos membuatnya sampai duluan di garis finis. Salah sendiri gigi kau tidak tonggos. Kuharap you paham ya!” jawab sang wasit tajam. Pelari nomor punggung tujuh turun dari podium menggeleng tak percaya.

HAKIM RAKUS

Emir tengah duduk di kursi pesakitan, pandangan matanya menatap seorang hakim yang sedang duduk mengawasinya. Kepalanya menunduk menatap koper yang berisi lempengan-lempengan batu yang ia susun sebelum menjalani sidang. Koper diletakkan dekat dengan kedua kakinya. Kedua tangannya mencengkrem lengan kursi jati warisan zaman kompeni. Emir tengah menghadapi tiga tuntutan.

Pertama, tuntutan dari kakaknya, Aldino. Mobil yang ia pinjem untuk mengantarkan temannya ke kampus apes, kecelakaan. Kakaknya yang superduper pelit menuntutnya dengan ganti rugi seratus juta karena telah menghilangkan dua spion mobilnya.

Kedua, tuntutan dari temannya. Masing-masing menuntut ganti rugi sebesar lima puluh juta. Karena telah membuat anjing termahal sedunia kehilangan ingatan pada tuannya (temannya).

Ketiga, Emir tak sengaja menyenggol temannya hingga masuk got yang menyebabkan Arloji bertahta berlian dari Paris mati total.

Emir sudah mencoba segala cara, tetapi tidak berguna sama sekali. “Ini negeri yang aneh,” batinnya. Ia menatap ke arah hakim yang sudah bersiap-siap membacakan putusannya.

Kopernya ia angkat dan dilitekkan di depan kakinya. Hakim mendelik menatap koper itu. Ia tersenyum senang dan membayangkan bagaimana banyaknya uang yang akan diterimanya. Tanpa berpanjang kata, si Hakim mulai membacakan putusannya.

“Untuk kasus pertama, kakakmu harus membelikan sepeda motor Yamaha YZR-M1 yang pernah dipakai oleh legenda hidup motoGP,Valentino Rossi,” ucap sang Hakim meyakinkan. Aldino terhenyak, wajahnya sepucat salju.

“Kasus kedua dan ketiga, kalian harus memberikan Honda RC212V yang pernah dikendarai oleh Dani Pedrosa. Dan satu lagi, kau harus memberikan honda Ducati Desmosedici, yang pernah dikendarai oleh Casey Stoner,” kata Hakim tegas. Ia mengetuk palu tiga kali, dan kembali menyidang kasus-kasus yang lain. Koper pun berpindah tangan, si Hakim mengedipkan matanya ke arah Emir. Ia berencana akan berlibur ke luar negeri membawa semua anggota keluarga, serta menginap di hotel mewah berbintang tujuh.

Selesai menyidang, si Hakim membuka koper. Matanya membelakak; Jika Tuan Hakim memutuskan tidak adil, akan kubunuh dengan koper ini. Secarik kertas berisi pesan Emir terbaca oleh si Hakim. Tangannya gemetar meraba lempengan batu pipih yang dikiranya uang berlimpah. “Jika aku tak menolongnya, kepalaku sudah berdarah dihantam koper berisi batu-batu ini,” bisiknya lirih. Ia sangat terkejut sembari tersenyum kecut.

Kakaknya tak mampu memberikan apa yang diminta Pak Hakim, ia hanya mampu membelikan motor bebek, Emir merasa senang dan menerimanya. Kedua temannya yang penipu itupun hanya mampu memberikan motor klasik kesayanganya dan motor metik yang baru lunas. Mereka terpaksa memberikan karena tak mau merasakan dinginnya lantai penjara.

Jumat, 27 Desember 2024

Balada Anak Kos

Di warung makan sederhana Andri sedang mengantri menuggu giliran memesan menu makanan. Ia berencana untuk makan di kosan., alias bungkus. Teman-teman satu kosan sudah mudik ke kampung halaman, mengisi waktu liburan.

Di depannya dua gadis sedang memesan makanan.

“Bang bungkus tiga ya?, pakai semur ati, orek tempe, capcay, jangan lupa kasih sambel.”

Aroma semur ati menguar kemana-mana. Begitu juga sambel medok di campur irisan pete. Andri menelan ludahnya sendiri. Dari subuh ia sudah mengelus-elus perutnya, bukan oleh mulas ingin buang air besar.

Abang itu mulai membungkus pesanan gadis itu. “Yang dua menunya apa?” tanya si abang sambil mengikat nasi bungkus itu dengan karet geleng merah. “Yang dua samain aja bang?” jawab gadis itu.

Abangnya membungkus pesanan dalam waktu yang mengagumkan. Semunya diberikan karet gelang merah, tak ada sobekan pada kertas nasi.

“Berapa bang?”

“24 ribu neng?”

Gadis itu membayar dan kemudian bergegas pergi.

“Saya pesan empat bungkus bang,” ucap gadis selanjutnya.

“Pakai apa,” tanya abang warung.

Abang warung sudah menaruh nasi di atas kertas nasi, lalu dibentuk cekung agar nasi tidak tumpah. Tangan kanannya sudah memegang gagang sendok menunggu lauk apa saja yang di pesan oleh sang gadis.

“Pakai lele goreng, sayur nangka, tahu goreng satu, kasih sambel ya bang?”

Si abang mengambil kesemua lauk itu cekatan. Meletakaknnya di atas nasi putih. Lalu membungkus dengan karet gelang kuning.

“Terus,” kata si abang yang sudah siap dengan pesanan kedua.

“Telor balado, orek tempe, capcay, tahu goreng satu, juga sambelnya bang.”

“Dua lagi pakai apa neng.”

“Samain saja bang lauknya.”

Hening sejenak.

“Semunya 32 Neng,” kata si Abang. Si gadis itu pun membayar dan lekas pergi.

Andri menoleh ke belakang. Tak ada orang yang mengantri di belakangnya. Ia menatap berbagai menu yang ada di depannya. Seperti dosen yang melihat mahasiswa presentasi.

Si abang menatapnya. “Pesan berapa?” ucap si abang. Andri kikuk meremas uang kertas yang sedang digenggamnya.

“Satu saja bang,” jawab Andri mantap.

“Pakai apa,” tanya si abang.

“Ini apa bang,” tanya Andri menunjuk menu secara bergantian.

“Sayur nangka, lodeh, capcay, opor, ati, dan lainnya ” jawab si abang agak manyun.

“Kuahnya saja bang, banyakin ya.”

Untuk sejenak si abang tertegun, kedua alisnya mengkerut. Ia menatap Andri cepat-cepat, lalu mengguyur nasi itu dengan kuah sayur nangka, lodeh, opor dan ati. Andri makin kikuk dan memberi intruksi lagi kepad si abang.

“Jangan lupa sambelnya bang.”

Si abang membungkusnya dengan cekatan setelah menambahkan satu sendok sambal. Ia memberikannya kepada Andri.

“Berapa bang?” tanya Andri. Keningnya banjir oleh keringat. Dan ia makin kuat meremas uang kertasnya.

“4000 ribu saja?” jawab si abang.

Ia tampak lega, lalu memberikan uangnya.

“Nih saya kasih gorengan Tahu gratis,” ucap si abang agak meleleh. Gorengan tahu itu tampak gendut dan menggiurkan.

“Terimakasih ya bang?” tutur Andri. Bergegas berbalik ingin keluar dari warung makan. Tak di duga, dua gadis tadi kembali lagi dan tengah duduk mengantri, meraka tersenyum manis padanya. Andri cepat-cepet pergi dari warung makan, menyesal tak sempat membalas senyum dari kedua gadis manis itu.

Somplang dan Batu Nisan

Selepas asar Somplang pergi ke rumah neneknya mengantarkan rantang bekal buat buka puasa. Jalan terdekat adalah menerobos setapak diantara makam-makam yang rebah. Apalagi kalau berhasil melewati makam bertanda salib besar di salah satu sudut kuburan itu. Teman-teman Somplang akan berhenti meledek dengan label cupu. Setapak demi setapak Somplang mulai berjalan. Tubuhnya tiba-tiba merasa dingin, ia seperti diawasi oleh ratusan mata yang tak bersahabat.

“Aduh!” teriak somplang. Kakinya menabrak batu nisan.

“Kenapa Som?” tanya seorang dari arah gubuk pertama.

“Aku tersandung batu Nisan, gimana ini?” Reflek Somplang menjawab. Ia menoleh kanan kiri tak ada orang sama sekali. Bahkan penjaga makam yang biasa duduk di gubuk pertama pun tak ada. Makam benar-benar kosong.

“Jalan saja tak apa,” perintah sebuah suara yang berat dan serak. Kali ini dari arah makam bertanda salib itu.

Somplang melirik batu nisan itu. Agak bergeser. Lalu berjalan. Tubuhnya mulai basah. Ia ingin kembali ke jalan semula. Tapi urung, kini ia sudah berada di tengah-tengah makam.

“Hei kau yang menabrak Nisan, benerin dulu, main kabur saja.” Sebuah suara cempreng dari arah gubuk kedua.

Somplang berhenti. Ia menoleh berkali-kali. Hanya ia sendiri dengan nafas yang mulai berat.

Ia melangkah kembali. Mencoba abaikan suara itu. Toh batu nisan hanya geser dikit.

“Bocah geblek!, ayo benerin!” suara itu muncul lagi. Somplang mencoba mengamati sekitar, tak bosan. Jantungnya terasa mau lepas. Di gubuk kedua, ada seorang laki-laki berwajah bayi sedang duduk menatapnya. Dan jari telunjuknya menuju ke arahnya.

“Cepat!” tuturnya galak matanya melotot memutih.

Ia meletakkan rantangnya cepat-cepat. Gemetar tangannya. Lututnya terasa lemas. Somplang membetulkan letak nisan yang doyong sedikit menjadi tegak kembali, dibawah tatapan lelaki berwajah bayi. Setelah selesai ia kembali menatapnya sambil menjulurkan lidahnya dan lari lintang pukang. Lelaki berwajah bayi berubah merah, dan tertawa lebar.

Somplang menoleh, lelaki itu berubah kembali menjadi berwajah bayi. Ia tengah melambaikan topeng yang menyeramkan itu. Dan ia tertawa lebar. Satu persatu teman-temannya keluar dari arah yang terduga. Makam yang sunyi jadi ramai oleh tawa temannya. “Sial!” umpat Somplang.

Terdengar tawa menggema dari alam yang berbeda. Besar dan berat.

Somplang dan teman-teman yang usil lari terbirit-birit. Dan batu nisan yang dibetulkan oleh Somplang kembali miring.

 

Hapus Pesan Sebelum Pulang

Boneng mematikan mesin truk. Lalu ia turun sambil menentang handuk kecil oren yang biasa pakai untuk lap ketika berkeringat. Ia mampir ke warung kopi langganannya. Kopi hitam sudah menunggu. Masih panas. Seorang perempuan datang sambil membawa pisang goreng. Ia meletakan tepat di hadapan Boneng. Sekilas ia melirik ke arah perempuan itu. Perempuan itu tersenyum.

“Kau sudah baca pesanku,” kata Boneng.

“Pesan yang mana, aku tak melihatnya,” kata perempuan itu. Sambil mengalihkan perhatiannya pada pengunjung lain. Menerima pesanan dari pengunjung lalu kembali ke dalam warung.

Pemilik warung yang ayahnya sendiri sudah memantaunya dari jauh. Tetapi ia tak bisa berbuat banyak. Anak perempunannya rupanya tak menghiraukan nasihatnya. Ia masih bercakap-cakap dengan Boneng.

“Sri, satu piring pisang goreng jangan lupa,” seru seorang pengunjung yang baru turun dari truk.

“Antri!” teriak Sri dari dalam.

Lima belas menis kemudian Sri keluar dari warung membawa pesanan. Satu nampan besar berisi puluhan kopi dan beberapa piring pisang goreng. Setelah memutar mengantarkan pesanan. Sri kembali lagi ke arah warung. Kesempatan ini tak boleh hilang. Boneng melancarkan aksinya lagi.

“Kau sudah baca kan?” tanya Boneng.

“WA-ku banyak, tak sempat membacanya satu persatu,” ucap Sri.

“Berarti kau tak menyimpan nomorku,” cecar Boneng. Ungkapan yang menyalahi kaidah pendekatan.

“Siap bilang, dari mana kau tahu, jangan asal tuduh!” pungkas Sri.

“Habis kau tidak tahu pesanku, mana mungkin tidak tahu, itu pesan yang terbaik yang pernah kukirimkan untukmu, masa sih, kau tak pernah anggap semua perhatianku selama ini,”

“Bukan begitu Mas Boneng, jangan salah sangku dulu, jangan-jangan ke semua perempuan kau lakukan hal yang sama?” ungkap Sri curiga. Ayahnya di dalam mengacungkan kedua jempolnya tinggi-tinggi.

“Jadi Sri nggak percaya sama aku,” tegas Boneng. Ia menyeruput kopi dalam-dalam.

“Bukan nggak percaya, sekarang begini saja. Coba aku lihat HP mu!” pinta Sri.

“Lihat saja!” kata Boneng, terdengar emosi.

HP berpindah ke tangan Sri. Beberapa detik ia tampak menang. Pada detik berikutnya Boneng blingsatan, kopi yang masih panas tiba-tiba diminumnya cepat-cepat. Tandas. Ia pun berkali-kali melonggarkan kaosnya.

“Dasar buaya!, sok ganteng!, playboy cap kuda!, kata Sri. Ia pun buru-buru masuk ke dalam warung.

Boneng yang merasa kecolongan, mengejar Sri sampai ke dalam warung. Didapatinya Sri yang tengah menangis di pelukan ibunya. Ayahnya sedari sudah memilin-milin kumisnya yang tebal dan panjang.

“Jangan pernah ke warung ini lagi, ngakunya belum punya pacar, tetapi WA dari peremuan banyak banyak, bayar hutang-hutangmu sekarang juga!” kata Sri marah.

Ayahnya mendekati Boneng. “Matilah aku sekarang,” bisik Boneng. Pandanganya menunduk ketika ayahnya sudah ada di hadapannya. Pengunjung lain ikut hening, mereka berhenti menyeruput kopi dan mengunyah pisang goreng. Menanti putusan terakhir untuk seorang Boneng.

“Lihat Bapak, sampeyan laki-laki kan?” tanyanya, suaranya berat. Boneng makin lemas. Mungkin ini petualangannya yang terakhir.

Boneng mengangguk.

“Lain kali, hapus pesanmu sebelum pulang, HP-mu sudah bersih dari chat dari wanita lain, kamu harus belajar lagi sama Bapak, main cantiklah?” ungkap Ayah Sri. Semua pengunjung yang tadinnya cemas. Langsung riuh, ada yang tertawa, memukul meja, berisiul, dan seterusnya. Sri berlari ke arah ayahnya, dan menghujaninya dengan cubitan.

Hikayat Penjaga Wartel

Seorang penjaga wartel sedang istirahat. Nama wartel itu, wartel mawar. Ia membalik sebuah tulisan: TUTUP. Duduk ia di beranda depan. Air dari got kecil menyambutnya. Kadang bau kadang tidak. Di depan wartel banyak kontrakan kecil yang di huni dari beragam suku. Mulai dari Batak, jawa, sumatera, sunda, dan seterusnya. Mereka sering mampir ke wartel pada waktu-waktu mendesak.

Saat istirahat, penjaga wartel membuka cemilan. Minum beberapa teguk dari air kemasan dan makan camilan. Di samping tempat duduknya tergeletak cemilan lain, seperti kripik, kue, marning, dan seterusnya yang dibelinya dari warung sebelah.

Seorang anak kecil usia 5 tahunan datang mendekatinya. Lalu duduk disampingnya sambil terus melihat ke arah penjaga wartel. Kedunya sudah sering bertemu, tetapi kesempatan untuk duduk bersama, bisa dihitung jari.

“Kamu sudah mandi belum?” tanya penjaga wartel sambil menyesap air yang tidak sehat untuk ginjal, jika sering-sering.

Anak kecil itu mengangguk. Ibunya dari seberang berkata. Suara cukup lantang. Tetapi masih bisa ditoleransi.

“Jangan ganggu Omnya, dia lagi istirahat,” ucap ibunya dalam bahasa sunda. Lalu si Ibu kembali lagi dengan cucian menggunung.

Anak kecil itu mengangguk-angguk menggemaskan.

“Lucu banget sih kamu,” ucap penjaga wartel.

Anak kecil itu tertawa. Lalu kedua matanya langsung fokus pada sepotong kue yang terbungkus plastik bening. Dan ia tak berhenti menatap.

“Kamu mau kue ini?” ucap penjaga wartel.

Anak kecil itu hanya tersenyum. Tetapi matanya tetap pada kue yang terbungkus plastik bergambar daun salak. Dan ia tersenyum lagi.

“Mau nggak?” tanyanya lagi.

Pesan Ayah

“Dari tadi saya perhatikan kau hanya mondar-mandir. Mungkin saya bisa bantu mencarikan atau memilih kain yang ingin kau beli?, saran Ibu pemilik Toko.

“Ayah menyuruhku mencari kain, tetapi aku tak mengerti bagaimana corak dan warnanya,” jawab Anton. Tas ransel yang menggelayut dipunggungnya masih menempel sekarang ia turunkan.

Anak itu mengeluarkan beberapa lembar amplop cokelat. Aroma kue bolu muncul dari balik amplop. Ia terus menukar antara amplop satu dengan yang lain. Si Ibu tampak gemes melihat Anton yang sudah sepuluh menit mampir di tokonya.

“Aku lupa pada amplop mana kutaruh tulisan itu? ucapnya sambil tersenyum. Senyum agak ganjil dan tatapan matanya terasa jauh.

“O, kira-kira amlop mana surat itu berada?” ucap si Ibu sambil menggeledah tiga amplop coklat.

“Aku tidak tahu Bu?, mungkin yang ini Bu?” ucap Anton sambil tersenyum disertai gumam tak jelas dan tawa yang tertahan. Ia kesulitan untuk kontak mata dengan Ibu pemilik toko.

RUMAH MASA DEPAN

Badrun salah seorang tukang (ahli) bangunan sedang menunggu Pak Lebay, Bosnya. Ia telah menyelesaikan satu bangunan rumah bersama anak buahnya. Tak lama Pak Lebay. Mereka duduk-duduk di sofa ruang tamu. Udara sekeliling masih mengeluarkan aroma cat.

“Bagaimana kabarmu Drun, sudah lama nggak ketemu,” tanya Pak Lebay.

“Baik Pak, rumah juga sudah siap huni,” jawab Badrun bangga.

Pak Lebay tersenyum. Badrun bungah.

Pak Lebay beranjak berdiri. Mulai melihat-lihat hasil pekerjaan Badrun. Ia mulai dari ruang tamu.

“Kenapa kau pasang keramik warna-warni.”

“Karena melambang hati yang gembira, semua yang Pak Lebay lihat nanti adalah berdasarkan filosofi kehidupan.”

“OK.” Pak Lebay mulai berkeliling.

Ia tertegun melihat sebuah pipa bening transparan yang terpasang di sepanjang dinding lantai atas ke lantai bawah yang nanti berahir di septik tank.

“Ini adalah filosofi keterbukaan di mana masing-masing dari kita manusia punya kekurangan dan kelebihan, jadi tak perlu sombong.”

Pak Lebay manggut-manggut. Ia tersenyum melihat kasur yang dibuat persis peti mati.

“Sebagai manusia biasa kita wajib untuk terus instropeksi diri agar kelak manusia bisa menjadi lebih baik.”

Pak Lebay mau turun dari lantai dua. Dan satu-satunya jalan agar sampai ke lantai bawah dengan prosotan. Secara otomatis anak tangga itu akan menarik diri seperti seekor ular yang gagal mematuk mangsa. Ia pun turun sambil melewati akuarium ikan yang terbuat dari pipa-pipa transparan yang terpasang melilit sepanjang ruangan.

Kamar-kamar juga terlihat membingungkan. Di hiasi oleh bermaca-macam terompet. Hingga para penghuni bisa bangun tanpa perlu weker. Terompet-terompet itu bisa bunyi secara otomatis.

Pak lebay geleng-geleng kepala. Ketika ingin menyalakan lampu tak ada satupun saklar yang terpasang di dinding.

“Bagaimana lampu-lampu itu bisa menyala Drun.”

“Menyalakan lampu tamu dengan tepukan tangan. Lampu kampar berdehem. Lampu kamar mandi batuk. Lampu dapur bersin. Lampu luar dengan hentakan kaki tiga kali.”

“O,” Gelengan kepalanya makin sering.

Pak Lebay keluar, tiba-tiba pintu tertutup sendiri.

“Jangan khawatir Pak, tinggal bersiul tiga kali, maka pintu dapat terbuka kembali.”

“Semua ini apa tidak berlebihan dan akan merepotkan penghununinya Drun?”

“Saya jamin tidak Pak, semua sudah saya perhitungkan. Bahkan untuk menyiram Tinja ketika BAB pun mudah sekali, tinggal menepuk dinding tiga kali. Sudah saya siapkan buku petunjuk bagi konsumen yang ingin membeli rumah ini.”

“Hanya dapur yang terlihat normal,” tutur Pak Lebay.

“Simbol kejujuran Pak,” jawab Badrun mantap.

Pak Lebay mengangguk-angguk. Mereka duduk kembali di ruang tamu.

“Begini Drun, kedatangan bapak ke sini adalah untuk menginformasikan...” Badrun memotong ucapan Pak Lebay.

“Ada yang beli ya Pak!”

“Bukan..., rumah yang kamu bangun ini adalah hadiah khusus buat kamu.”

“Buatku Pak!”

Pak Lebay mangangguk. Badrun tak percaya, tubuhnya tiba-tiba kaku, mengejang, dan ia mulai menangis. Pak Lebay menepuk bahunya. Ia pamit untuk pulang. Membiarkan salah satu anak buah terbaiknya menangis keras di ujung sofa.